Kamis, 31 Januari 2013

Menjadi Muslim di Jepang - Nomikai & Khamr

Assalammualaikum

Pertama-tama, mohon maaf karena sudah lama sekali blog ini tidak saya isi dengan tulisan. Kawan-kawan, kali ini saya ingin membahas mengenai satu hal yang lekat sekali dengan kehidupan di Jepang. Bahkan dahulu salah seorang dosen saya mengatakan kalau orang Jepang tidak dapat dipisahkan dengan hal ini. Bagi umat Islam, kita mengenalnya dengan sebutan khamr.

Menurut para ulama, khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan baik sedikit maupun banyak. Hal ini sesuai dengan hadits:

Dari Ibni Umar RA. bahwa Rasulullah SAW bersabd, "Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan semua jenis khamar itu haram" (HR. Muslim dan Ad-Daruquthuny).

Di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang mengharamkan khamr. Salah satunya:

"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah,`Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." (QS. Al-Baqarah : 219)

Dalam sejarah awal penyebaran Islam, para sahabat banyak yang dulunya merupakan peminum khamr dan sering mabuk. Akan tetapi, ketika Islam mengharamkan khamr maka mereka pun serta merta menuruti perintah tersebut.


Gelas Bir Bintang yang entah bagaimana ada juga di Jepang

Di Jepang, khamr dapat ditemui dalam bentuk-bentuk seperti sake (ini khas Jepang), bir, whisky, wine, dan sebagainya. Bahkan untuk membuat makanan pun seringkali menggunakan sake atau mirin yang termasuk khamr yang menyebabkan makanan di Jepang banyak yang tidak halal. Khamr pun mudah sekali untuk dijumpai karena dijual di berbagai supermarket, convenience store, dan toko-toko lainnya. Memang, untuk dapat meminum minuman keras, harus sudah mencapai umur 20 tahun terlebih dahulu (usia yang bagi orang Jepang dianggap sudah dewasa) sehingga anak-anak dan pelajar tidak dibolehkan untuk membelinya.

Orang Jepang sangat menyukai khamr seperti sake dan seringkali mengadakan acara minum-minum yang disebut dengan nomikai (nomi dari kata nomu yang berarti minum dan kai yang berarti pertemuan sehingga bisa diartikan sebagai pertemuan untuk minum-minum). Nomikai sendiri memiliki fungsi yang salah satunya untuk menjalin kebersamaan dan juga menurut dosen dan pengakuan orang Jepang sendiri berguna sebagai ajang untuk mengemukakan pendapat (yang lebih mudah disampaikan dalam keadaan mabuk). Hal ini dapat dilihat dari para pegawai perusahaan yang dalam acara semacam itu dapat mengemukakan pendapatnya kepada rekan kerja atau atasannya.

Di kalangan akademisi sendiri acara semacam ini diadakan oleh suatu lab dan tim di dalam lab tersebut terutama di akhir tahun yang kemudian disebut sebagai Bounenkai (pesta akhir tahun). Anggota lab biasanya diharapkan sekali untuk hadir dalam pesta tersebut sehingga umumnya sulit untuk menolak. Bisa dibilang, teman-teman saya yang menempuh pendidikan di sini pernah mengikuti pesta akhir tahun semacam itu meski yang muslim tidak ikut minum khamr dan memilih minuman bersoda atau jus dan sebagainya.

Saya sendiri sejauh ini belum pernah ikut nomikai ataupun bounenkai (yang rasanya akan disayangkan beberapa pihak karena dianggap tidak merasakan budaya Jepang). Alasannya, karena saya tidak termasuk dalam lab apapun di kampus dan juga karena biaya untuk ikut nomikai (jika tidak ditraktir) termasuk mahal untuk ukuran saya (sekitar 1500 yen).

Sejatinya bolehkan seorang muslim menghadiri kegiatan semacam itu?

Pada awal bulan Januari kemarin, saya sempat menghadiri daurah di Tokyo dan ada salah seorang peserta yang menanyakan masalah tersebut. Ustadz yang hadir pun menjawab bahwa seyogyanya seorang muslim menjauhi perkara yang dekat dengan kemaksiatan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa seorang muslim sebenarnya dilarang untuk mengikuti hal tersebut.

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman saya (muslimah) sempat tertarik untuk berfoto bersama bir. Melihat hal tersebut, saya pun teringat bahwa ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kita seharusnya menjauhi khamr (bahkan seingat saya ada yang menganggap bahwa memegangnya pun tidak dibolehkan). Seketika saya merasa bersalah tidak menghentikannya meskipun setelah itu saya menyampaikan kekhawatiran saya.

Begitulah, satu lagi dinamika kehidupan di Jepang yang dapat saya ceritakan dalam kesempatan kali ini. Semoga dapat diambil hikmahnya.